Pendahuluan: Ketika Media Sosial Tak Lagi Sosial
Facebook dan Instagram pernah menjadi simbol revolusi sosial digital. Keduanya hadir sebagai ruang baru untuk merawat relasi, berbagi momen personal, dan membentuk komunitas virtual. Namun kini, suasana itu nyaris hilang. Platform-platform ini telah berubah menjadi panggung algoritma—tempat konten tampil bukan karena kedekatan emosional, melainkan karena daya jangkau dan viralitasnya.
Perubahan ini bukan sekadar estetika antarmuka atau preferensi fitur. Ia mencerminkan pergeseran mendalam dalam cara kita berinteraksi dan membangun makna dalam ruang digital.
Data dan Fakta: Ketika Interaksi Pribadi Tergusur
Mark Zuckerberg sendiri, dalam pengakuan di pengadilan antitrust Amerika Serikat, menyatakan bahwa Facebook dan Instagram telah memasuki “fase akhir” sebagai platform sosial. Ini bukan klaim sembarangan, tetapi refleksi atas realitas yang telah dikonfirmasi data internal Meta.
Salah satu temuan paling mencolok: hanya 7% dari waktu pengguna Instagram digunakan untuk melihat unggahan teman. Sisanya dihabiskan untuk mengonsumsi Reels dan konten dari kreator yang tidak mereka kenal secara personal. Di Facebook, tren serupa terlihat—news feed semakin dipenuhi video viral dan iklan dibandingkan unggahan keluarga atau teman.
Dari Interaksi ke Konsumsi: Shifting Makna Kebersamaan
Perubahan algoritmik ini menggeser fokus dari siapa yang berbicara dengan siapa menjadi siapa yang ditonton oleh siapa. Interaksi tak lagi didorong oleh kedekatan sosial, tetapi oleh performa konten. Semakin banyak “like”, komentar, dan share, semakin besar kemungkinan konten itu tampil di layar kita—terlepas dari relasi personal dengan pembuatnya.
Ini mengubah cara kita memaknai kehadiran digital. Akun pribadi berubah menjadi portofolio publik. Unggahan harian menjadi siaran untuk audiens luas. Relasi pun menjelma menjadi impresi. Dalam dunia seperti ini, wajar bila banyak orang mulai merasa kesepian meski “terhubung”.
Dunia yang Dipandu Algoritma: Siapa yang Kita Lihat, Siapa yang Kita Lupakan?
Algoritma bekerja berdasarkan logika efisiensi atensi. Mereka menyajikan apa yang berpotensi disukai, bukan apa yang bermakna secara sosial. Akibatnya, teman lama yang jarang posting akan terkubur dalam feed, tergantikan oleh selebgram yang rutin memproduksi konten menarik.
Fenomena ini menciptakan distorsi relasi. Kita semakin sering melihat orang yang tidak kita kenal, dan semakin jarang terpapar kehidupan orang yang sebenarnya penting dalam kehidupan nyata kita. Ini bukan lagi masalah teknis, tapi problem sosial.
Dari Komunitas ke Etalase: Evolusi (atau Devolusi) Media Sosial
Transformasi Facebook dan Instagram mencerminkan pergeseran dari komunitas ke etalase, dari jejaring ke pertunjukan. Media sosial yang dulunya memungkinkan keterlibatan dua arah kini menjadi panggung satu arah, tempat pengguna menjadi penonton dari dunia yang dikurasi secara estetis dan algoritmik.
Kita tidak lagi bertanya, “Bagaimana kabar teman saya?” melainkan “Apa yang sedang viral hari ini?”
Identitas Digital: Menjadi Manusia atau Menjadi Merek?
Dalam ekosistem digital yang digerakkan oleh performa, banyak individu mulai menata dirinya seperti brand. Setiap unggahan dirancang agar “terlihat menarik”. Setiap momen dimaknai sebagai potensi konten. Dalam proses ini, identitas pribadi mulai kehilangan keaslian dan tergantikan oleh persona publik yang dirancang untuk meraih impresi maksimal.
Pertanyaannya: apakah kita masih berinteraksi sebagai manusia dengan perasaan dan cerita, atau hanya tampil sebagai merek yang ingin menjangkau lebih banyak audiens?
Menjadi Penjaga Makna di Era Viral
Di tengah arus algoritmik yang kian dominan, tugas kita sebagai pengguna bukan hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga penjaga makna. Kita perlu mengingat bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Ia seharusnya memperkuat relasi, bukan sekadar mengkapitalisasi perhatian.
Menjadi penjaga makna berarti:
- Mengutamakan keaslian dalam berbagi, bukan hanya estetika.
- Menjaga komunikasi personal tetap hidup di balik hiruk-pikuk konten viral.
- Menyadari bahwa tidak semua yang trending itu relevan secara personal.
- Mendukung platform dan fitur yang mengedepankan interaksi dua arah.
Alternatif Ruang Sosial: Mencari Oase Digital Baru
Beberapa pengguna mulai migrasi ke platform yang lebih fokus pada komunitas dan privasi, seperti Discord, Telegram, atau bahkan forum-forum niche. Lainnya memilih untuk membentuk close friends list, menggunakan fitur note, atau kembali ke group chat sebagai cara untuk memulihkan intimasi digital.
Tren ini menunjukkan satu hal penting: meskipun media sosial arus utama berubah, kebutuhan akan koneksi yang otentik tetap ada. Yang berubah hanyalah caranya.
Penutup: Saatnya Bertanya Ulang
Di tengah dunia yang semakin terstruktur oleh algoritma, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya:
Apakah kita masih membangun hubungan, atau hanya memperluas audiens?
Apakah kita masih menjadi pribadi, atau sudah sepenuhnya berubah menjadi merek?
Media sosial boleh berubah, tetapi kendali atas cara kita menggunakannya tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk kembali menjadikan teknologi sebagai medium relasi, bukan sekadar ladang impresi.
Media Sosial kami :
Instagram : https://www.instagram.com/markshare.id?igsh=bXRyY2FicmNhNGgy
Tiktok : https://www.tiktok.com/@markshare.id?_t=8qMzDqVbBSC&_r=1
X : https://x.com/markshare_id
Linkedin : https://id.linkedin.com/company/markshare-training